Sabtu, 24 November 2018

Nasikh Mansukh

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH
Pengertian nasikh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu penghapusan/pembatalan (al-izzah atau al-ibthal), pemindah (annaql), pengubahan (al-ibdal), dan pengalihan (attahwiil atau al-intiqol). Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fail) diartikan sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maf’ul) adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti dan dipalingkan.
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqoddimin dan ulama muta’akhirin dalam mendefinisikan nasikh sacara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian nasikh secara etimologi sebagaimana dijelaskan diatas.
Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqoddimin diantaranya:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebealumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat ‘am/umum oleh hukum yang lebih khusus yang datang setelahnya.
3. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Berdasarkan pada gugusan paparan diatas, ulama’ mutaqoddimin secara terminologis mengusung makna nasikh secara luas yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun interprestasi naskah yang diusung oleh meraka juga menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan bahkan pengecualian.
Semenatara menurut ulama’ muta’akhirin, nasikh adalah dalil yang datang kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama. Dengan demikian maka mempersempit ruang lingkup nasikh dengan beberapa syarat, baik yang menasakh atau yang dinasakh. Lebih lanjut ulama’ muta’akhirin mendefinisikan nasakh sebagai berikut:
رفع الحكم الشرعى بحطاب شرعى متراجبا عنه
“mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum (khatab) syara’ yang datang kemudian”.
Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasikh. Sedangkan hukum yang pertama disebut mansukh. Sementara itu penghapusan hukumnya disebut nasakh. Berdasarkan pengertian itu para ulama’ muta’akhirin lebih mempersempit makna nasakh dengan mendefinisikannya sebagai amandeman sebuah ketentuan hukum atau berakhir masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian, sehinggga hukum terdahulu tidak berlaku lagi.
Sementara itu menurut Az-Zarqoni, sebagaimana dinukil oleh Moh. Nur Ikhwan, yang dimaksud dengan teminologi menghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dahapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri. Dalam arti bahwa semua ayat Al-Quran terttap berlaku, tidak ada kontradiso yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu  karena kondisi berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.
Dalam nasakh diperlukan syarat yaitu hukun yang mansukh adalah hukum syara’, dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih kemudian dari kitab yang dimansukh, dan kitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
Sebagian ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadi naskh, yaitu:
a. Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada mansukh.
b. Yang mansukh harus lebiha awalan dari nasikh.
c. Hukum yang dinasakh mesti hal-hal yang mengangkut dengan perintah, larangan dan hukuman.
d. Hukum yang dinasakh tidak terbatas dengan waktu tertentu, meski berlaku sepanjang waktu.
e. Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasikh.
f. Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh. Maka nash yang dzanni tidak bisa menaskh-kan yang qoth’i. Tentu tidak sah pula dalil yang bersifat ahad untuk men-naskah-kan dalil yang mutawatir.
Beranjak dari keterangan diatas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan langsung dengan hal-hal mengenai nasakh, maka disini penulis akan menjelaskan hal-hal yang mengalami naskh.
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan denga tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan, selama tidak berhubungan dengan akidah, dzat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, para Rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat.
B. DASAR-DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUKH
Manna’ Al-Qoththon menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwaa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (d’ihapus). Ketiga dasar adalah:
1. Melauai pentransmisian yang jelas (annaqli al-sharikh) dari nabi atau para sahabatnya, separti hadsit: kuntu nahaitukum ‘an ziyarot al quburi ‘ala fazuhuruha” (aku (dulu) melaragn kalian untuk berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah).
Juga seperti ungkapan Anas berkaitan dengan ashab sumur ma’unah: “wanuzilah fihin Quran Qoronah hatta rufi’a” (untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya dihapus)
2. Melalui kesepakatan ummat bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3. Melalui study sejarah, mana ayat yang yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh dan mana yang duluan turun disebut mansukh.
Al-Qoththon menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradisksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau beelaklangnya keislaman salah seorang dari pwmbawa riwayat.
Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Al-Hisar:
Persoalan naskh hanya dikembalikan ()didasarkan pada penukilan yang jelas dari Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam, atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini dinasakh oelh ayat lain. Bisa jadi ditetapkan dengan cara ini mana kaa teradi kontradiksi yang pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun dan yang kemudian. Dalam masalah naskh tidak diperkenankan memegangi pendapat kebanyakan para mufassir, nbahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang shahih, dan sanggahan yang jelas, sebab nasikh mengandung arti menghapuskan dari menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi Shallalahu’alaihi wasallam. Yang dipengangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad. Para ulama dalam maslah ini, berada pada dua kutub kontradiksi; ada  yang mengatakan dalam masalah naskh hadist ahad yang adil, para pereawinya tidak diterima, dan ada yang bersifat terlalu toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan keduanya.
C. MACAM-MACAM NASIKH DALAM AL-QURAN
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh mansukh dalam Al-Quran dapat dibagi tiga:
1. Naskh tilawah dan hukum
Seperti hadist yagn diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Sayyeda Aisyah Radhiyallahu’anha:
عن عائشة رضي الله عنها, أنها قالت: "كان فيما أنزل من القران: عشر رضعات معلومات يحرمن, ثم نسخن, بخمس معلومات, فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم, وهن فيما يقرأ من القران"
“diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: adalah diantara yang diturunkan dari Al-Quran adalah sepuluh kali susunan yang maklum sampai Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam wafat lima kali susunan ini termasuk ayat Al-Quran yang dibaca. (HR. Muslim)
Riwayat diatas memberi tahukan bahwa ketantuan tentang susunan ini tidak ada lagi didalam Al-Quran, baik bacaan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang Radha’ah itu tidak sapai kepada semua orang, sehingga sampai Rasululloh shollallahu’alaihi wasallam wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah dinasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat didalam mushaf ‘Ustmani.
Qhodhi Abu Bakar menceritakan dalam al-intisar, sebagaimana dikutip manna’Al-Qoththon, bahwa ada yang mengingkari naskh seperti ini karena hanya  berdasarkan khabar ahad, padahal menetapkan ayat Al-Quran, atau menaskh-kannya haruslah dengan khabar mutawatir. Manna’ al-Qoththon membenarkan bahwa memang khabarnya ahad, tetapi harus dibedakan antara menetapkan ayat Al-Quran dengan menasakh-kannya menetapkan turunannya ayat Al-Quran haruslah dengan khabar mutawatir, tetapi mentapkan nasakhnya cukup dengan khabar ahad.
2. Naskh hukum tetapi tilawahnya tetap
Contoh nasakh jenis ini adalah surat al-Mujadilah ayat 12 dinasakh oleh surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinaskah hanyalah hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam mushaf ‘Ustmani.
Allah SWT berfirman:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰٮكُمْ صَدَقَةً   ۗ  ذٰلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَاَطْهَرُ   ۗ  فَاِنْ لَّمْ تَجِدُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih. Tetapi jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 12)
ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰٮكُمْ صَدَقٰتٍ   ۗ  فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَ اٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ   ۗ  وَاللّٰهُ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum (melakukan) pembicaraan dengan Rasul? Tetapi jika kamu tidak melakukannya dan Allah telah memberi ampun kepadamu, maka laksanakanlah sholat, dan tunaikanlah zakat serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya! Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai syarat untuk dapat berbicara secara khusus dengan Rasululloh shollallahu‘alaihi wasallam pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan bagi ummat.
3. Naskh tilawah tetapi hukumnya tetap
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Khathab dan Ubay bin Ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkan adalah ayat:
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة نكالا من الله والله عزيز حكيم
“orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai sikaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majjah)
Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut sudah dinasakh sehingga tidak ditemukan dalam mushaf ‘Ustmani.
D. NASKH AL-QURAN DAN ASSUNNAH
Disamping naskh Al-Quran dengan Al-Quran, para Ulama’ juga membahas nasakh Al-Quran dengan Assunnah, naskh Assunnah dengan Al-Quran dan naskh Assunnah dengan Assunnah. Untuk naskh AL-Quran dengan AL-Qruan dan Al-Quran tidak perlu dibahas dalam fasal ini, karena sudah bibahas sebelumnya. Yang perlu dibahas adalah tiga macam naskh yang lain:
1. Naskh Al-Quran dengan Assunnah
Dalam hal ini dibagi menjadi dua kategori, pertama, naskh Al-Quran dengan hadist ahad, dan kedua, naskh Al-Quran dengan hadist mutawatir. Untuk yang pertama, jumhur ulama’ berpendapat Al-Quran tidak boleh dinaskh oleh hadist ahad karena kedudukannya tidak seimbang, Al-Quran bersifat mutawatir, menunjukan yakin, sedangkan hadis ahad, zhanni, tidak boleh menghapus seuatu yang zhanni.
Kedua, naskh Al-Quran dengan hadist mutawatir, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal dalam suatu riwayat membolehkannya karena keduanya adalah wahyu sebagaimana dinyatakan oleh Allah Subhanallahu wata’ala:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ  الْهَوٰى
"dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya." (QS. An-Najm 53: Ayat 3)
اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰى
"Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)," (QS. An-Najm 53: Ayat 4)
Dan juga berdasarkan firman Allah Subhanallahu wata’ala:
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِ ۗ  وَاَنْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ  الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
"(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan." (QS. An-Nahl 16: Ayat 44)
Menurut mereka naskh termasuk dalam bagian al-bayan, seperti yang disebutkan dalam ayat diatas.
Imam Asy-Syafii, ahli zhahir, dan Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat lain, tidak membolehkan naskh Al-Quran dengan Assunnah karena naskh Al-Quran hanya boleh dengan Al-Quran juga ditegaskan dalam ayat:
مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَاۤ اَوْ مِثْلِهَا  ۗ  اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 106)
2. Naskh Assunnah dengan Al-Quran
Jumhur ulama membolehkan naskh Assunnah dengan Al-Quran. Shalat menghadap baitul maqdis ditetapkan dengan Assunnah, lalu dinasakhkan dengan Al-Quran:
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَآءِ ۚ  فَلَـنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰٮهَا ۖ  فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ ۗ  وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ  ۗ  وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَـعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَـقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ  وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
"Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 144)
3. Naskh Assunnah dengan Assunnah
Ada empat macam naskh assunnah dengan assunnah:
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedangkan bentuk keempat, jumhur ulama’ tidak membolehkan.
E. KONTROVERSI TENTANG NASIKH MANSUKH
Menurut jumhur ulama, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima oleh akal dan benar-benar terjadi pada hukum syara’.
Argumen jumhur ulama adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan-perbuatan Allah SWT tidak terikat dengan tujuan Menjadi hak Allah untuk memerintahkan sesuatu pada suatu waktu yang menghapusnya dengan larangan pada waktu yang lain. Dia Yang Maha Mengetahui kemaskahatan hamba-hamba Nya.
2. Nash-nash Al – Qur’an dab as-Sunnah menunjukkan boleh dan terjadinya naskh, antara lain:
Allah SWT berfirman:

وَاِذَا بَدَّلْنَاۤ اٰيَةً مَّكَانَ اٰيَةٍ ۙ  وَّ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْۤا اِنَّمَاۤ اَنْتَ مُفْتَرٍ ۗ  بَلْ اَكْثَرُهُمْ  لَا يَعْلَمُوْنَ
"Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja. Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. An-Nahl 16: Ayat 101)
مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَاۤ اَوْ مِثْلِهَا  ۗ  اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 106)
عَنِ ا بْنِ عَبّسٍ،قَالَ:قَالَعُمَرُرَضِيَ اللّٰهٌ عَنْهُ: "أَقْرَؤُنَاأُبَيّ، وَاَقْضَا نَاعَلِيُّ، وَإِنَّالَنَدَعُ مِنْ قَوْلِ أَبِيّ، وَذَاكَ أَنَّ اُبَيًّا يَقُوْلُ: لَاأدَعُ شَيْأ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صلَّيَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ":وَقَدْ قَالَ اللّٰهُ تَعَلَي:{مَانَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍأَوْنُنْسِهَا}(البقرة:٦.ا)
“Diriwayatkan dari ibn’Abbas RA ,’Umar berkata :”Yang paling Qori’ diantara kami adalah Ubay, dan yang paling Qodhi’Ali, walaupun demikian kami meninggalkan sebagian perkataan Ubay, karena diaberkat:”Aku tidak akan tinggalkan sedikitpun apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah’Azza wa jalla berfirman:”Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya... “(HR. Al-Bukhori)
Pendapat yang berbeda dengan jumhur di kemukakan oleh Abu Muslim Al-Ashfani(w. 322H)  menurut dia naskh dapat diterima oleh akal tetapi tidak boleh terjadi menurut syara’. Naskh dalam Al-Qur’an tidak boleh terjadi karena hukum Allah SWT tidak ada yang batil untuk selamanya, sebagaimana firman Allah SWT:
لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ  وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ ۗ  تَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
"(yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji."  (QS. Fussilat 41: Ayat 42)
Bagi al -Ashfani ,ayat-ayat naskh di bawa kepada takhshish.
Sementara itu kaum Syiah Rafidhah berlebihan dalam menggunakan naskh dan membolehkan al-bada’ bagi Allah SWT . Mereka berargumen dengan ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Ali secara dusta dan palsu. Dan juga mereka berargumen dengan menggunakan firman Allah :
يَمْحُوْا اللّٰهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ   ۚ  وَعِنْدَهٗۤ اُمُّ الْكِتٰبِ
"Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuz)." (QS. Ar-Ra'd 13: Ayat 39)
Para ulama yang menerima Naskh berbeda-beda juga dalam kadar penerimaan. Ada yang terlalu mudah menetapkan naskh bagi ayat-ayat yang kelihatanya bertentangan (ta’arudh)  tanpa berusaha memastikan bahwa ta’arudh itu memang bersifat hakiki sehingga tidak bisa dikompromosikan sama sekali. Dengan demikian, jumlah ayat-ayat yang di naskh sangat banyak sekali.
As-Suyuthi dalam al-Itqan mengutip pendapat bahwa surat-surat yang didalamnya ada nasikh dan mansukhnya. Alangkah dan banyaknya naskh dalam beberapa surat antara lain sebagai berikut:
Surat Al-Baqoroh 184 mansukh dengan Al-Baqarah 185:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ  فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ  وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ ۗ  فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ  ۗ  وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّـکُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 184)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْۤ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِ ۚ  فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَـصُمْهُ  ۗ  وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ  يُرِيْدُ اللّٰهُ بِکُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِکُمُ الْعُسْرَ ۖ  وَلِتُکْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمْ وَلَعَلَّکُمْ تَشْكُرُوْنَ
"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185)
Surat Al -Baqarah 217 mansukh dengan At -Taubah 36
يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَـرَامِ قِتَالٍ فِيْهِ ۗ  قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ  ۗ  وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَ کُفْرٌ ۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ  ۚ  وَالْفِتْنَةُ اَکْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ  وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْـنِکُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا  ۗ  وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ کَافِرٌ فَاُولٰٓئِكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ  ۚ  وَاُولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ  هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 217)
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَاۤ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ  ۗ  ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ  ۙ    فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ   ۗ  وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَآ فَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَآ فَّةً   ۗ  وَاعْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
"Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa." (QS. At-Taubah 9: Ayat 36)
Surat AL-Baqoroh ayat 284 mansukhkan dengan Al-Baqoroh 286:
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ  وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِيْۤ اَنْفُسِكُمْ اَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللّٰهُ ۗ  فَيَـغْفِرُ لِمَنْ يَّشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَآءُ  ۗ  وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 284)


لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا  ۗ  لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ  ۗ  رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَاۤ اِنْ نَّسِيْنَاۤ اَوْ اَخْطَأْنَا  ۚ  رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَاۤ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا  ۚ  رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ  ۚ  وَاعْفُ عَنَّا  ۗ  وَاغْفِرْ لَنَا  ۗ  وَارْحَمْنَا  ۗ  اَنْتَ مَوْلٰٮنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 286)
Surat Ali Imran 102 mansukhan dengan surat At-Taghabun 6.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 102)
فَاتَّقُوا  اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْ ۗ   وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. At-Taghabun 64: Ayat 16)
Baberapa contoh diatas cukuplah untuk menggambarkan bahwa memang sebagian ulama terlalu mudah memutuskan adanya nasikh mansukh sebelum menyelidiki lebih mendalam apa yang memang ada ta’arudh haqiqi antara dua ayat tersebut. Contoh yang terakhir dikutip diatas misalnya belum memenuhu syarat untuk dinyatakan nasikh mansukh, karena keduanya tidak betul -betul Ayat pertama(Ali Imran102) adalah perintah bertaqwa yang bersifat umum .Sementara ayat yang kedua (At -Taghabun 16) adalah ketentuan khusus apabila tidak mampu bertaqwa sepenuhnya.
Dalam tafsir Al-manar dijelaskan bahwa ada yang mengira surat Ali Imran 102 Mansukhah dengan surat At Taghabun 16. Ibn Jarir meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa yang dimaksud dengan perintah bertaqwa. Bertaqwa itu adalah ,Allah diatas, sepenuhnya tidak boleh kufur sedikitpun.
Dari Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Said bin Jubair, setelah turun Aki Imran 102 tersebut para sahabat berusaha keras untuk melaksanakanya. Sampai ada yang mendirikan Shalat hingga bengkak tumitnya dan luka keningnya, lalu turun surat At Taghabun 16 memberikan keringanan(bertaqwa kepada Allah menurut kesanggupan atau sekuat tanganmu),manaskh Ali Imran 102 sebelumya Muhammad Rasyid Ridha dan juga gurunya Muhammad Abduh menolak nasikh mansukh.
Menurut Rasyid Ridha, kalau dipahami seperti diriwayatkan dan ibn mas’ud diatas maja itu berarti Allah SWT memberi tugas kepada umat-Nya sesuatu yang tidak sanggup dikerjakanمِنْ تُكْلِيْفِ مَالَا يُطاقُ Dan has its sesuatu Yang terlarang. Dengan demikian tidal Ada nasikh mansukh antara dua ayat itu memerintahkan until berusaha sungguh-sungguh bertaqwa sehingga tidal meninggalkan sedikitpun usaha Yang dapat dilakukan
بَالِغُوْافِي التَّقْوَاحَتَّي لَاتَتْرُكُوْامِنَ الْمُسْتَطَاعُ مِنْهَاشَيْأً
Begitu juga contoh-contoh yang lain yang telah disebutkan diatas, apakah memang benar-benar ada pertentangan antara masing-masing ayat tersebut sehingga harus ditetapkan sebagai nasikh mansukh?atau masih bisa dikompromikan kedua-duanya dapat diamalkan?Tentang tidak pada tempatnya disini untuk membahas satu persatu, yang penting apabila setelah dikaji secara mendalam memang benar-benar ada pertentangan yang tidak bisa dipertemukan antara dua ayat barulah diputuskan bahwa ayat yang satu manaskh yang lain. Dengan demikian nasikh mabsukh lebih selektif.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan Asyari Ulama’i, 2016, konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran, Semarang: UIN Walisongo.
Abdul Haris, 2014, nasikh mansukh dalam al-quran, Jambi: IAIN STS Jambi.
Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., 2013 kuliah ulumul quran, Yogyakarta: ITQON Publishing.
Dra. H. Sufiyah Musyafa’ah, Dr. Amir Maliki M. Ag, dkk, 2011, study al-quran, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Drs. Maman Abd. Djaliel, 2008, ulum al-quran, Bandung: CV PUSTAKA SETIA